"Ya c'(_l_)l..semanis-manis pemberianMu dalam kalbuku ialah perasaanku terhadapMu dan seenak-enak perkataan pada lidahku ialah memujiMu, sedang yang paling ku rindukan ialah saat berjumpa denganMu"..


Digital Scrapbooking at WiddlyTinks.com
  • Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur
Memiliki jiwa syukur beerti selalu menerima segala ketenteuan seadanya dan dengan perasaan rendah diri (qona’ah) dan dengan hati yang redha. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami
sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona
dengan pemberian dan keputusan Allah. Bila berada di dalam kesulitan maka ia akan segera ingat akan sabda Rasulullah SAW : “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang
lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan
memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan
yang lebih besar lagi. Bila ia tetap bersabar dengan terus bersyukur maka Allah
akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah
orang yang bersyukur!
  • Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh
Pasangan hidup yang soleh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang
soleh. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan dipersoalkan tanggungjawabnya dalam mengajak isteri dan anaknya kepada kebaikan.
Berbahagialah menjadi seorang isteri bila memiliki suami yang soleh, yang pasti
akan bekerja keras untuk mengajak isteri dan anaknya menjadi hamba yang soleh.
Demikian pula seorang istri yang soleh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan
yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan
suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri
yang solehah.
  • al auladun abrar yaitu anak yang soleh
Saat Rasulullah SAW tawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda
yang kakinya melecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya
kepada anak muda itu : “Kenapa kakimu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya
Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah uzur. Saya
sangat mencintai dia dan saya tidak pernah meninggalkan dia. Saya meninggalkan ibu
saya hanya ketika buang hajat, ketika solat, atau ketika istirahat, selain itu
saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya
Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada
orang tua ?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh
Allah redha kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku
ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadis
tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup
untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun kita boleh mencubanya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang soleh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang soleh.
  • albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal
siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah
orang-orang yang menilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah
hadisnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang
yang soleh. Orang-orang yang soleh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan
mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang soleh adalah orang-orang
yang bahagia kerana nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada
cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang
yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh
orang-orang yang soleh.
  • al malul halal, atau harta yang halal
Islam tidak menilai berapa banyak harta dunia yang dikumpul, tetapi dinilai bagaimana perolehan harta tersebut halal atau tidak. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sedekah Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW,
“Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal kerana doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan syaitan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
  • Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama
Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh
lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah menjanjikan nikmat
bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada
agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang
akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng ”hidup” kan
hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam
dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu
agama Islam.
  • umur yang berkat
Umur yang berkat itu adalah umur yang semakin tua semakin banyak amalan solehnya, yang setiap
detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak berangan-angan tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya(post-power syndrome). Disamping itu fikirannya hanya memikirkan bagaimana cara untuk menghabiskan sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan
bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang berkat umurnya.



since 12/5/2009 till today (14/5/2009)...ana g kursus adobe photoshop....although da pnah blaja skit msa dip dlu dlm subjek multimedia...tp Ya Allah cm2 bnda ana xtau...blaaja ni cm2 dpt tau..best sgt2...mmg suka edit2 lukis pkai kom ni...lau lukis gna tngan...xmnjadi..tngan kayu..(^_~)..
first day g..pemandu PNM anta....ptg tue dpt tau for the 2nd n 3rd day kna g sndri...aduhhh...jenuh gak fkr nk g cm na...da la bru kt kl nie..xtau jalan pn..luckily..hotel ni (ShAh's ViLlagE hOtel)..dekt ngn stsn Putra...kg.Bru pn da StseN puTra..AlhAmduLillAh...terIma kAsiH ya AllAh..EngKau MenMudaHkaN urusAnku...lg senNg naIk putra LRT...xda SesAk ngN jLan Jem...lAu nAik LRT pejLanan xSmpaI 30 mNt pn..tp Lau Naik KetE....dkT 1jAm stnGah...
beRbaLik pAsaL adObe...dIsinI ana seRtakaN seKaLi hasIl-haSil reKaan aNa...nk Belajar...intErcome Ana ea...(^_~)...


Dalam meniti dan mengharungi sebuah jalan kebenaran, tidak hairan jika kita menghadapi begitu banyak kritikan dan hinaan. Tidak kering juga cacian dan celaan. Malah mungkin sehingga dipinggirkan dan dikatakan sebagai pelik lagi aneh.

“Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Surah az-Zumar, 39: 9)

Walaupun demikian keadaannya, kita sewajarnya terus bermuhasabah diri dengan melazimi sifat sabar dan beristiqomah dengan kebenaran di atas prinsip ilmu. Lebih wajar lagi, jika kita imbas dan melihat kembali uswah (contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri ketika bagaimana beliau menghadapi kepelbagaian bentuk penolakan demi penolakan dalam dakwahnya. Pelbagai bentuk penolakan yang dilakukan dengan bersertakan tindakan-tindakan yang amat kasar dan berat untuk ditanggung.

Ketika mana di dalam awal fasa penyampaian beliau, hari-hari demi hari silih berganti, beliau tetap melazimi segala hal yang dihadapi dengan tenang, kebaikan, memohon keselamatan bagi dirinya dan manusia lainnya. Tidak terdetik sedikit pun di dalam lubuk hati dan perasaannya berniat memuaskan emosi sendiri dengan menyimpan perasaan dendam terhadap mereka yang bersikap membara menentang beliau.

Baginda Shallallahu ‘alaihi wa Sallam antaranya diutuskan untuk memilih jalan damai, memaafkan kesalahan golongan yang masih jahil, dan mengajak mereka dengan hikmah kembali kepada jalan yang benar. Ini antara lain adalah bertujuan supaya kelak nantinya akan lahir insan-insan yang menuruti beliau atas dasar yang penuh ikhlas dan tulus hatinya berserah diri di atas jalan kebenaran. Ia juga bakal menjadikan mereka yang gemar bersikap keras menjadi lembut hati dan lentur jiwanya dengan kebenaran yang dibawa. Kebenaran yang dibawa dengan personaliti akhlak yang baik bersesuaian di atas tempatnya lebih mudah diterima berbanding dengan sikap keras yang dihamburkan membabi buta. Realitinya, apa jua yang dibawa bersama pakej lemah lembut dan akhlak pekerti yang baik ianya akan menjadi lebih mesra serta mudah dihadam oleh golongan sasaran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa suatu bentuk godaan dari syaitan maka berlindunglah kepada Allah” (al-A’raaf, 7: 199-200)

Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan pada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ayat tersebut, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah ini wahai Jibrail?” Ia menyatakan, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu supaya mema’afkan orang-orang yang berbuat zalim kepadamu, memberi kepada orang yang tidak memberimu, dan menyambung orang-orang yang memutuskan perhubungan denganmu.” (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Pustaka Ibnu Katsir (Bogor), 3/768)

Dan hendaklah kita sentiasa memohon perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala bentuk gangguan Syaitan yang memungkinkan akan menyemarakkan/ membangkitkan sifat marah di dalam hati kita kepada golongan yang masih jahil dan tidak memahami tersebut.

Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),

“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku”.” (Surah al-Mukminuun, 23: 96-98)

Menzahirkan sifat pema’af bukanlah suatu yang menunjukkan kehinaan dan ketidakmampuan atau pun cepat mengalah. Malahan, jika kita mampu mengamati dengan baik, ia adalah sebenarnya menunjukkan ketabahan hati, kebesaran jiwa, kekuatan mental serta perasaan kita dalam melawan sikap cepat marah dan mengelakkan dari timbulnya susana yang tegang. Dalam konteks yang lain, ia mampu menumbuhkan dan memupuk sikap tenang, tenteram, kemuliaan, dan juga kegagahan jiwa dalam menghadapi tekanan dan cabaran. Malah, sifat ma’af juga mampu mengawal diri dari memiliki sifat dendam dan benci. Sekaligus, ia mampu melahirkan sikap lemah lembut dan mudah mesra.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan kemudahan untuk mema’afkan kecuali Allah akan memberinya ‘izzah (kemuliaan).” (Hadis Riwayat Muslim)

Di dalam suatu riwayat, disebutkan betapa sifat pema’af Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang sangat menakjubkan terserlah ketika mana beliau menghadapi hari yang lebih mencabar daripada peperangan Uhud iaitu ketika peristiwa beliau dihina dan dicemuh di Thaif tatkala mahu menyampaikan dakwahnya. Penduduk Thaif pada masa itu bukan sahaja menolak dakwahnya malahan sampai membalingnya dengan batu dan objek-objek tertentu yang menjadikan beliau berlumuran darah. Sehinggakan kasutnya turut dipenuhi darah. Kita selaku insan biasa, sudah tentu mampu membayangkan betapa beratnya ujian yang beliau terima pada ketika itu.

Pada saat itu juga, malaikat yang bertugas menjaga gunung telah bersiap sedia menantikan perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Malaikat tersebut memanggil dan mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar penolakan kaummu. Dan aku penjaga gunung mendapat titah untuk menerima perintahmu bersesuaian dengan kehendakmu. Jika engkau mahu, maka aku akan hempapkan dua gunung ini ke atas mereka.”

Apabila mendengarkan seruan malaikat tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam justeru menidakkan (menolak tawaran tersebut) dan berkata,

“Sesungguhnya aku berharap agar Allah akan mengeluarkan dari sulbi-sulbi mereka keturunan yang beribadah kepada Allah dengan sepenuh keikhlasan tanpa menyekutukan- Nya dengan sesuatu apa pun.” (Hadis Riwayat Muslim)

Maha Suci Allah, sungguh menakjubkan akhlak dan kesabaran yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tunjukkan kepada kita. Walaupun beliau mendapat tekanan, tentangan dan hinaan yang begitu berat, ternyata akhlak dan peribadi beliau yang mulia dengan membuka pintu ma’af lebih mendahului yang lain.

Kita sebagai insan yang mengaku mengikuti beliau sebagai ikutan dan contoh terbaik, sewajarnya tidak melupakan akhlak dan kesabaran beliau yang begitu tinggi tersebut. Dan bagi diri kitalah selaku umat yang beriman yang memahaminya dengan baik, perlu berlumba-lumba untuk mencontohi peribadi beliau agar sentiasa melazimi sifat sabar dan pema’af. Dengan mengikutinya, di sanalah rahmat Allah bakal menyusuli kita.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surah Fushilat, 41: 34-36)

Nawawi Subandi (http://an-nawawi. blogspot. com),
17:31, 04/07/2008
Bandaraya Anggerik (Shah Alam).
Berserah diri kepada Allah merupakan ciri khusus yang dimiliki orang-orang mukmin, yang memiliki keimanan yang mendalam, yang mampu melihat kekuasaan Allah, dan yang dekat dengan-Nya. Terdapat rahasia penting dan kenikmatan jika kita berserah diri kepada Allah. Berserah diri kepada Allah maknanya adalah menyandarkan dirinya dan takdirnya dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Allah telah menciptakan semua makhluk, binatang, tumbuh-tumbuhan, mahupun benda-benda tidak bernyawa - masing-masing dengan tujuannya sendiri-sendiri dan takdirnya sendiri-sendiri. Matahari, bulan, lautan, danau, pohon, bunga, seekor semut kecil, sehelai daun yang jatuh, debu yang ada di bangku, batu yang menyebabkan kita tersandung, baju yang kita beli sepuluh tahun yang lalu, buah persik di lemari es, ibu anda, teman kepala sekolah anda, diri anda - pendek kata segala sesuatunya, takdirnya telah ditetapkan oleh Allah jutaan tahun yang lalu. Takdir segala sesuatu telah tersimpan dalam sebuah kitab yang dalam al-Qur'an disebut sebagai 'Lauhul-Mahfuzh'. Saat kematian, saat jatuhnya sebuah daun, saat buah persik dalam peti es membusuk, dan batu yang menyebabkan kita tersandung - pendek kata semua peristiwa, yang remeh mahupun yang penting - semuanya tersimpan dalam kitab ini.

Orang-orang yang beriman meyakini takdir ini dan mereka mengetahui bahawa takdir yang diciptakan oleh Allah adalah yang terbaik bagi mereka. Itulah sebabnya setiap detik dalam kehidupan mereka, mereka selalu berserah diri kepada Allah. Dengan kata lain, mereka mengetahui bahawa Allah menciptakan semua peristiwa ini sesuai dengan tujuan ilahiyah, dan terdapat kebaikan dalam apa saja yang diciptakan oleh Allah. Misalnya, terserang penyakit yang berbahaya, menghadapi musuh yang kejam, menghadapi tuduhan palsu padahal ia tidak bersalah, atau menghadapi peristiwa yang sangat mengerikan, semua ini tidak mengubah keimanan orang yang beriman, juga tidak menimbulkan rasa takut dalam hati mereka. Mereka menyambut dengan rela apa saja yang telah diciptakan Allah untuk mereka. Orang-orang beriman menghadapi dengan kegembiraan keadaan apa saja, keadaan yang pada umumnya bagi orang-orang kafir menyebabkan perasaan ngeri dan putus asa. Hal itu Kerana rencana yang paling mengerikan sekalipun, sesungguhnya telah direncanakan oleh Allah untuk menguji mereka. Orang-orang yang menghadapi semuanya ini dengan sabar dan bertawakal kepada Allah atas takdir yang telah Dia ciptakan, mereka akan dicintai dan diridhai Allah. Mereka akan memperoleh surga yang kekal abadi. Itulah sebabnya orang-orang yang beriman memperoleh kenikmatan, ketenangan, dan kegembiraan dalam kehidupan mereka Kerana bertawakal kepada Tuhan mereka. Inilah nikmat dan rahasia yang dijelaskan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan dalam al-Qur'an bahawa Dia mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Q.s. Ali 'Imran: 159) Rasulullah saw. juga menyatakan hal ini, beliau bersabda:

"Tidaklah beriman seorang hamba Allah hingga ia percaya kepada takdir yang baik dan buruk, dan mengetahui bahawa ia tidak dapat menolak apa saja yang menimpanya (baik dan buruk), dan ia tidak dapat terkena apa saja yang dijauhkan darinya (baik dan buruk)."[4]

Masalah lainnya yang disebutkan dalam al-Qur'an tentang bertawakal kepada Allah adalah tentang "melakukan tindakan". Al-Qur'an memberitahukan kita tentang berbagai tindakan yang dapat dilakukan orang-orang yang beriman dalam berbagai keadaan. Dalam ayat-ayat lainnya, Allah juga menjelaskan rahasia bahawa tindakan-tindakan tersebut yang diterima sebagai ibadah kepada Allah, tidak dapat mengubah takdir. Nabi Ya'qub a.s. menasihati putranya agar melakukan beberapa tindakan ketika memasuki kota, tetapi setelah itu beliau diingatkan agar bertawakal kepada Allah. Inilah ayat yang membincangkan masalah tersebut:

“Dan Ya'qub berkata, 'Hai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan, namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri'.” (Q.s. Yusuf: 67).

Sebagaimana dapat dilihat pada ucapan Nabi Ya'qub, orang-orang yang beriman tentu saja juga mengambil tindakan berjaga-jaga, tetapi mereka mengetahui bahawa mereka tidak dapat mengubah takdir Allah yang dikehendaki untuk mereka. Misalnya, seseorang harus mengikuti aturan lalu lintas dan tidak mengemudi dengan sembarangan. Ini merupakan tindakan yang penting dan merupakan sebuah bentuk ibadah demi keselamatan diri sendiri dan orang lain. Namun, jika Allah menghendaki bahawa orang itu meninggal Kerana kemalangan kerata, maka tidak ada tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah kematiannya. Terkadang tindakan pencegahan atau suatu perbuatan tampaknya dapat menghindari orang itu dari kematian. Atau mungkin seseorang dapat melakukan keputusan penting yang dapat mengubah jalan hidupnya, atau seseorang dapat sembuh dari penyakitnya yang mematikan dengan menunjukkan kekuatannya dan daya tahannya. Namun, semua peristiwa ini terjadi Kerana Allah telah menetapkan yang demikian itu. Sebagian orang salah menafsirkan peristiwa-peristiwa seperti itu sebagai "mengatasi takdir seseorang" atau "mengubah takdir seseorang". Tetapi, tidak seorang pun, bahkan orang yang sangat kuat sekalipun di dunia ini yang dapat mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Tidak seorang manusia pun yang memiliki kekuatan seperti itu. Sebaliknya, setiap makhluk sangat lemah dibandingkan dengan ketetapan Allah. Adanya fakta bahawa sebagian orang tidak menerima kenyataan ini tetap tidak mengubah kebenaran. Sesungguhnya, orang yang menolak takdir juga telah ditetapkan demikian. Kerana itulah orang-orang yang menghindari kematian atau penyakit, atau mengubah jalannya kehidupan, mereka mengalami peristiwa seperti ini Kerana Allah telah menetapkannya. Allah menceritakan hal ini dalam al-Qur'an sebagai berikut:

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.s. al-Hadid: 22-3).

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, peristiwa apa pun yang terjadi telah ditetapkan sebelumnya dan tertulis dalam Lauh Mahfuzh. Untuk itulah Allah menyatakan kepada manusia supaya tidak berduka cita terhadap apa yang luput darinya. Misalnya, seseorang yang kehilangan semua harta bendanya dalam sebuah kebakaran atau mengalami kerugian dalam perdagangannya, semua ini memang sudah ditetapkan. Dengan demikian mustahil baginya untuk menghindari atau mencegah kejadian tersebut. Jadi tidak ada gunanya jika merasa berduka cita atas kehilangan tersebut. Allah menguji hambahamba-Nya dengan berbagai kejadian yang telah ditetapkan untuk mereka. Orang-orang yang bertawakal kepada Allah ketika mereka menghadapi peristiwa seperti itu, Allah akan ridha dan cinta kepadanya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertawakal kepada Allah akan selalu mengalami kesulitan, keresahan, ketidakbahagiaan dalam kehidupan mereka di dunia ini, dan akan memperoleh azab yang kekal abadi di akhirat kelak. Dengan demikian sangat jelas bahawa bertawakal kepada Allah akan membuahkan keberuntungan dan ketenangan di dunia dan di akhirat. Dengan menyingkap rahasia-rahasia ini kepada orang-orang yang beriman, Allah membebaskan mereka dari berbagai kesulitan dan menjadikan ujian dalam kehidupan di dunia ini mudah bagi mereka.